By Sumanto al Qurtuby
Belum lama ini saya memberi kuliah umum secara daring di Program Studi Islam Madani (Falsafah dan Agama), Universitas Paramadina, tentang kontestasi antara kelompok "Islam madani" versus "Islam medeni" di Indonesia dan Arab Saudi.
Yang dimaksud "Islam madani" di sini kurang lebih adalah jenis keislaman yang bercorak moderat,toleran, inklusif, dan pro-kebhinekaan serta menjunjung tinggi keadaban dan tradisi berpikir kritis-akademis dalam memahami wacana keagamaan, keislaman, dan sosial-
kemasyarakatan. Inilah jenis keislaman yang diidealkan, diperjuangkan, sekaligus ingin diwujudkan di Indonesia oleh almarhum Profesor Nurcholish Madjid (Cak Nur), pendiri Universitas Paramadina. Nama "paramadina" sendiri mengandaikan "Islam madani" itu yang diinspirasi oleh penggantian nama Yatsrib menjadi Madinah oleh Nabi Muhammad.
Sementara itu, yang dimaksud "Islam medeni" di sini kira-kira adalah jenis keislaman yang bercorak radikal-ektremis, eksklusif, intoleran, anti-keragaman, suka bertindak atau mendahulukan kekerasan (radikalisme) dalam menyelesaikan masalah sosial-keagamaan serta minus pikiran kritis-akademis dalam memahami dan menafsirkan teks dan wacana keislaman dan keagamaan.
Kata "medeni" di sini diambil dari bahasa Jawa yang berarti "menakutkan" karena memang tampilan mereka yang menakutkan masyarakat luas lantaran suka main kasar, "ngamukan" dan hobi berbuat onar di masyarakat.
Ekspresi atau tampilan kedua kelompok ini di masyarakat tidak sama. Misalnya, kelompok "Islam medeni" itu bervariasi ekspresinya. Ada yang "ultraekstrem" dan mematikan seperti kelompok teroris yang suka ngebom di tempat-tempat umum: tempat ibadah, hotel, restauran, café, kantor polisi dlsb.
Ada yang suka melakukan aksi-aksi vigilantisme atau persekusi seperti menggeruduk umat agama, sekte, atau kelompok Islam lain yang tidak sepaham atau sehaluan dengan mereka. Ada pula yang suka melakukan "kekerasan verbal" melalui perkataan atau ucapan seperti ujaran kebencian (hate speech), provokasi, dan pernyataan intoleransi terhadap kelompok lain.
Kelompok "Islam madani" pun demikian. Ada yang sebatas "moderat" dan "toleran", baik dalam perkataan maupun tindakan. Ada pula yang tingkatannya lebih tinggi sedikit, yaitu sikap "pluralis" (atau mereka yang berpegang pada prinsip pluralisme) yang bukan hanya sebatas bersikap moderat dan toleran terhadap umat agama lain tetapi juga diiringi dengan tindakan "deep engagement and dialogue", baik melalui tindakan pergumulan fisik (bahasa Jawa: "srawung") maupun dengan mempelajari serta keinginan kuat untuk mengetahui dan menggali lebih jauh aneka ragam praktik keagamaan umat lain.
Aneka ragam kelompok
Penting untuk diketahui bahwa baik kelompok "Islam madani" maupun kelompok "Islam medeni" bukanlah unik Indonesia. Hampir di setiap negara, khususnya yang berpenduduk mayoritas muslim, memiliki kelompok ini. Bahkan di negara-negara di Eropa, Amerika Utara, atau Australia dlsb, kelompok "Islam madani" dan "Islam medeni" juga ada.
Tentu saja, "ekstremisme" dan "moderatisme" bukan hanya monopoli umat Islam. Umat agama lain pun memiliki kecenderungan yang sama: ada kelompok agama yang bercorak ekstrem di satu sisi, dan moderat di pihak lain.
Kedua kelompok ini saling berebut pengaruh di masyarakat untuk merebut "hati" umat Islam. Dalam sejarah Islam, fenomena ini bukanlah hal baru sebetulnya. Sudah sejak masa awal formasi Islam di abad ke-7 M, kontestasi antara kelompok "Islam madani" dan "Islam medeni" ini sudah ada yang kemudian kelak menjadi aneka ragam mazhab, aliran, sekte, atau kelompok keislaman.
Dalam konteks Islam, perseteruan politik setelah wafatnya Nabi Muhammad (w. 632 M) menyebabkan umat Islam terbelah menjadi aneka ragam kelompok sektarian dengan beragam ekspresi sosial-kepolitikan dan keislaman.
Ada kelompok yang "pasrah" serta mengedepankan "quietism" dan "apolitis" seperti Murji'ah tetapi ada pula kelompok yang sangat ekstrem dan frontal melakukan tindakan kekerasan bahkan dengan melancarkan serangkaian aksi pembunuhan sistematis pada para tokoh dan sekelompok Muslim yang berseberangan dengan mereka seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij.
Dari dulu hingga kini, mereka sama-sama mengembangkan strategi, mekanisme, cara, dan taktik tertentu dalam berdakwah, "berjuang", bersosialisasi, dan bermasyarakat agar mendapat simpati publikMuslim dan banyak pengikut.
Bedanya, kelompok "Islam medeni" tidak sungkan-sungkan menggunakan pendekatan kekerasan (fisik maupun verbal) sedangkan kelompok "Islam madani" tidak menyukai kekerasan fisik tetapi lebih menyukai atau mengedepankan "perang pemikiran" (battle of thought).
Mereka juga sama-sama menggunakan legitimasi atau justifikasi teks-teks keislaman yang diambil dari Al-Qur'an, Hadis, atau dalam konteks kontemporer ditambah kitab-kitab atau pendapat (aqwal) para ulama panutan mereka, baik yang klasik maupun modern, guna mendukung dan memperkuat pendapat, pemikiran, dan praktik keagamaan yang mereka lakukan.
Pula, khususnya dalam konteks kontemporer seiring dengan perkembangan teknologi, mereka menggunakan beragam media (cetak, visual, audio-visual, online atau melalui perkumpulan dan pengajian rutin) dan aneka institusi (masjid, madrasah, ormas, Islamic center dlsb) untuk menyebarluaskan ide-ide mereka. Dulu, perseteruan dilakukan melalui masjid atau forum-forum pertemuan publik saja.
Menjalin patronase dengan kekuasaan
Dalam sejarahnya dan bahkan hingga kini, baik kelompok "Islam madani" maupun "Islam medeni" sama-sama berusaha menjalin patronase dengan kekuasaan (rezim politik) untuk melanggengkan gagasan dan visi-misi mereka di masyarakat. Hal itu bisa dimaklumi karena kekuasaan politiklah yang mempunyai atau memegang otoritas dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi, finansial, dan kepolitikan.
Dalam upaya untuk berpatron dengan kekuasaan ini, ada kalanya kelompok "Islam madani" yang berhasil dan kemudian ikut mengontrol produksi wacana keislaman tetapi kadang kelompok "Islam medeni" yang berhasil "berbulan madu" atau bersinergi dengan kekuasaan yang kemudian "membabat" habis rival-rival politik dan agama mereka. Misalnya, kelompok Sahwa di Arab Saudi untuk contoh "Islam medeni" di awal 1980an tetapi sejak beberapa tahun terakhir, kelompok "Islam madani" yang berpatron dengan pemerintah.
Tetapi ada pula yang kemudian berubah, mengalami transformasi atau menjelma dari kelompok agama menjadi kelompok politik karena sukses mengontrol teritori negara. Contohnya, untuk kasus "Islam medeni", adalah fenomena kaum Taliban di Afghanistan pada pertengahan 1990an atau kelompok "Revolusi Islam" di Iran pada akhir 1970an.
Kalau melihat data-data sejarah dari dulu hingga kini, kelompok "Islam madani" yang lebih banyak "diatas angin" dalam pengertian sukses menjalin koalisi dengan otoritas politik. Meskipun di beberapa negara yang mayoritas berpenduduk Muslim di Timur Tengah dan Afrika (sebut saja Mesir, Lebanon, Palestina, Sudan, Aljazair, Iran, atau Yaman) kontestasi kedua kelompok cukup dinamis dan fluktuatif dari waktu ke waktu dalam hal perebutan akses kekuasaan politik-pemerintahan.
Ada kalanya kelompok "Islam madani" yang unggul tetapi kadang kelompok "Islam medeni" yang sukses.
Siapa yang menang?
Dalam konteks Indonesia, kontestasi kedua kelompok selalu dimenangkan oleh "Islam madani", meskipun sudah sejak awal kemerdekaan kelompok "Islam medeni" berusaha merebut, mengontrol, dan mendominasi kekuasan dan negara seperti yang dilakukan oleh para pendukung Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo pada tahun 1949)
Baik Sukarno maupun Suharto sama-sama antikelompok "Islam medeni", meskipun di akhir-akhir kekuasaan Pak Harto ia menjalin "kongkalikong" dengan kelompok "Islam medeni" untuk mengimbangi atau membendung gerakan "Islam madani" yang mulai berani mengkritik kekuasan, pemerintah, dan Pak Harto.
Setelah Pak Harto tumbang, kelompok "Islam medeni" mendapatkan "angin surga". Mereka terus berusaha menggelembungkan diri dengan berbagai cara, misalnya memperbanyak ormas, membuat sekolah, atau secara terbuka berceramah. Jadi, demokrasi adalah "berkah" buat kelompok karena demokrasilah mereka bisa berkembang biak. Ironisnya, mereka sering mengkritik demokrasi karena dianggap produk sekuler-Barat yang tidak Islami.
Kelompok "Islam medeni" juga terus berusaha mempengaruhi para pemangku kebijakan (pemerintah atau politisi) untuk memuluskan jalan bagi pembuatan berbagai peraturan hukum (Perda, Pergub, Surat Edaran, dlsb) yang diambil dari aturan hukum Islam tertentu.
Meskipun demikian, hingga kini, kelompok "Islam medeni" ini belum berhasil menguasai kekuasaan politik-pemerintahan. Nasib mereka semakin tersungkur karena Presiden Joko Widodo dan jajarannya mulai gencar membungkam kelompok ini serta memangkas jaringan dan sel-sel mereka. Itu belum lagi ditambah gerakan masif-intensif yang dilakukan oleh para eksponen "Islam madani" seperti Nahdlatul Ulama yang gencar "memerangi" pemikiran dan gagasan "Islam medeni".
Bagaimana "nasib" kelompok "Islam medeni" ini ke depan? Bagaimana kontestasi kedua kelompok ini di masa mendatang? Waktu nanti yang akan menjawabnya.
Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C